Studi Club Ilmiah. Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 23 Desember 2014

BANK SENTRAL INDONESIA

Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
STATUS DAN PERANAN BANK INDONESIA 

Sebagai Lembaga Negara yang Independen
 Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin indenpendensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam strukturketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien
Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum politik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uangterhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:
  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
  • Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
  • Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.
PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK INDONESIA
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.
Upaya Restrukturisasi Perbankan
Sebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh langkah reksturusiasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna memfungsikan kembali perbankan sebagai lembaga perantara yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan kepercayaan masyarakat, program rekapatilisasi, program restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank.
OTORITAS MONETER
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan melaksanakan kebijakan mopneter yang tepat. Kebijakan itu bisa berupaopen market operation, discount policy, sanering, dan selective credit.
SISTEM PEMBAYARAN
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrakstruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important nbank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atautransfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.
Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai instrntik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.
Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan ditstrubusi dilakukan melalui sarana angkutan laut, dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang pasu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI).
DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur selama-lamanya lima tahun, dan mereka hanya dapat dipilih untuk sebanyak-banyaknya dua kali masa tugas.

Pengangkatan dan Pemberhentian Dewan Gubernur

gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan tindak pidana kejahatan.

Pengambilan keputusan

Sebagai suatu forum pengambilan keputusan tertinggi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, serta sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter atau menetapkan kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan keputusan dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur, atas dasar prinsip musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir.
PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS KEUANGAN
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan  tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.  Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflation targetting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui  mekanisme pengawasan dan regulasi Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun arsitektur perbankan indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran Sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang  bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengamanan sisitem keuangan  melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR,  Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut. 

PERANAN THE LENDER OF LAST RESORT (LOLR) 

Dalam sejarah bank sentral di dunia, fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LOLR) telah dikenal sejak akhir abad ke-19. Pada umumnya, peranan utama LOLR adalah untuk mencegah terjadinya krisis finansial yang sistemik (a systemic financial crisis) dalam suatu perekonomian (Freixas, 2003). Sebagaimana sifat dari bank yang cenderung menghadapi risiko likuiditas sebagai konsekuensi dari usahanya menempatkan dana dalam bentuk kredit dengan jangka waktu lebih panjang dan menerima dana (simpanan) dengan jangka waktu lebih pendek. Dengan demikian krisis likuiditas akan menjadi meningkat jika deposan menarik dananya dan pada lanjutannya hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank runs). Tanpa ada kehadiran bank sentral sebagai peminjam terakhir, bank run di salah satu bank dapat menjalar ke bank lainnya (contagion) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan sistemik pada sistem perbankan secara keseluruhan.

Intervensi bank sentral secara langsung melalui kebijakan LOLR tersebut semakin penting dekade terakhir, yaitu sejak krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998. Hubungan erat antara krisis perbankan, krisis keuangan dan krisis sektor riil merupakan salah satu alasan mengenai pentingnya peranan LOLR. Pengalaman empiris pada krisis perbankan dan krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, seperti Thailand, Korea dan Indonesia, pada tahun 1997/1998 telah mengakibatkan terjadinya kontraksi yang tajam pada perekonomian negara-negara tersebut.
Menyadari akan dampak krisis perbankan dapat menimbulkan kegagalan sistemik dan pada lanjutannya mengakibatkan kontraksi ekonomi yang lebih dalam, maka pemerintah dan BI pada krisis perbankan tahun 1997/1998 memberikan LOLR kepada sebagian besar perbankan nasional. LOLR tersebut dalam praktek di Indonesia dikenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Bantuan likuditas Bank Indonesia (BLBI) sampai sekarang masih menjadi isu yang sangat controversial. Hal ini disebabkan selain jumlah BLBI yang disalurkan selama krisis meliputi jumlah yang sangat besar, juga karena berkembang pendapat bahwa penyaluran dana tersebut melibatkan berbagai korupsi, penyalahgunaan dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya. Akan tetapi sampai saat ini belum ada suatu kajian ekonomi yang membahas secara serius mengenai isu tersebut. Suatu kajian ekonomi yang objektif dapat memberikan berbagai informasi tentang: (i) perlu tidaknya bantuan likuiditas oleh Bank Sentral kepada bank umum, (ii) manfaat dan biaya sosial yang timbul dari kebijakan tersebut, (iii) kondisi yang menyebabkan timbulnya permintaan BLBI, (iv) instrumen-instrumen BLBI, dan (v) aspek tatalaksana serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan.

Fungsi Lender of the lasr resort (LOLR)
Sejarah keberadaan lender of the last resort (LOLR) tidak terlepas dari sejarah keberadaan bank sentral. Fungsi bank sentral sebagai LOLR telah dikenal sejak akhir abad ke-19 dan peranan tersebut semakin menonjol sejak perekonomian suatu negara menerapkan sistem fiat money khususnya lagi sejak runtuhnya sistem standar emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods pada tahun 1973. Pada dasarnya LOLR adalah pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik. Mengingat risiko sistemik yang terjadi di perbankan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian, maka terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya krisis tersebut dengan intervensi langsung dari bank sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas pinjaman (LOLR) kepada bank dalam rangka menutupi liquidity missmatch. Secara teoritis, intervensi bank sentral/pemerintah diperlukan dalam hal terjadi mekanisme pasar tidak sempurna khususnya dengan adanya market failure (Freixas, 1999).

Pada dasarnya terdapat 2 jenis market failure yang merupakan karakteristik dari sektor perbankan, yaitu kemungkinan terjadinya kesulitan likuiditas dan risiko sistemik kegagalan bayar suatu bank terhadap bank lainnya (systemic risk). Penyediaan likuiditas bank sentral/pemerintah tersebut merupakan pilihan terakhir bagi bank setelah pasar uang tidak dapat memenuhi kebutuhan bank.
Kehadiran bank sentral dalam fungsinya menjalankan LOLR dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian karena dapat mengurangi terjadinya krisis keuangan yang parah dan mengurangi terjadinya fluktuasi dalam siklus ekonomi Miron (1986). Secara umum, fasilitas LOLR berfungsi untuk: (i) mencegah terjadinya bank run baik yang terjadi secara individual maupun yang bersifat sistemik dan (ii) mengatasi masalah kesulitan likuiditas yang terjadi secara temporer.

Berdasarkan fungsinya terdapat dua jenis LOLR (Lind dan Taylor, 2003), yaitu 1) LOLR normal dan 2) LOLR krisis. LOLR normal adalah pemberian bantuan likuiditas yang bersifat sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank. Pemberian fasilitas LOLR ini harus didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter. Sementara LOLR krisis adalah pemberian fasilitas pinjaman likuiditas kepada bank dalam rangka menghindarkan risiko sistemik pada perbankan secara keseluruhan. Pemberian fasilitas ini dapat dimungkinkan diberikan kepada bank-bank yang kurang jaminan dan bank yang insolvent

tetapi dengan jaminan pemerintah.
Secara teoritis pentingnya fungsi LLR dikemukakan oleh Diamond dan Dybvig (1983). Pada dasarnya argumen mereka dilandasi oleh kenyataan bahwa transakasi perbankan memiliki karakteristik sebagai berikut: (i) bank meminjam dana dari nasabah secara jangka pendek dalam bentuk tabungan dan deposito, dan (ii) bank menyalurkan kredit yang bersifat jangka panjang kepada debitur. Dari realitas tersebut ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, selama nasabah percaya bahwa dananya relatif aman serta ada kepastian bahwa mereka dapat menarik dana sesuai dengan kebutuhan, maka nasabah akan terus menyimpan dananya di bank. Kedua, jika nasabah tidak yakin bahwa dananya akan dikembalikan sepenuhnya oleh bank, maka akan terjadi bank run yaitu dimana sebagian besar atau seluruh nasabah menarik simpanannya secara serentak dari bank.

Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hadori (2002) untuk kasus Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian LOLR atau BLBI oleh BI/Pemerintah dapat mencegah terjadinya kontraksi perekonomian Indonesia yang lebih parah lagi jika dibandingkan tidak ada pemberian BLBI. Dengan mengasumsikan terjadinya “dooms day” maka tanpa adanya pemberian fasilitas LOLR/BLBI kepada bank maka fungsi intermediasi perbankan terhambat dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri terganggu sehingga secara keseluruhan ekonomi akan mengalami kontraksi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan perekonomian ekonomi dengan BLBI.
Untuk mencegah terjadinya bank run, Diamond dan Dybvig (1983) mengusulkan tiga solusi yaitu: lender the last resort (LLR), suspension of convertibility (SC), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan adanya LLR dan LPS, nasabah menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu tidak akan ada kekawatiran dari seorang nasabah mengenai kemampuan bank untuk memenuhi semua kewajibannya.

Salah satu cara untuk mengatasi panik adalah dengan cara memberlakukan suspension of convertibility (SC) atau penghentian pengkonversian dari simpanan menjadi uang cash. Dalam kasus seperti ini deposan hanya bisa menguangkan simpanan sesuai dengan kontrak simpanannya, dalam arti bahwa simpanan yang belum jatuh tempo tidak bisa ditarik.

Alternatif yang kedua untuk mencegah terjadinya panik adalah dengan mengadakan fasilitas LLR. Dengan adanya fasilitas ini, bank tidak harus melakukan likuidasi aset-asetnya untuk melayani terjadinya panik. Oleh karena itu fasilitas LLR memiliki dua fungsi yaitu : (i) memberikan kemampuan pada bank untuk melayani seluruh penarikan, dan (ii) mencegah bank melakukan likuidasi aset-aset produktivnya.
Akan tetapi fasilitas LLR memiliki tiga kelemahan sebagai berikut: Pertama, fasilitas ini relatif terbatas scope-nya untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas perbankan. Kedua, fasilitas ini biasanya juga disertai dengan infusi jumlah uang yang beredar sehingga cenderung meningkatkan inflasi dan ketidakpastian dalam nilai tukar. Ketiga, dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa return on investment dari aset kredit perbankan akan mampu menutup semua kewajibannya terhadap otoritas penyedia LLR.

Panik dapat juga dicegah dengan pemberlakuan blanket guarantee, dimana pemerintah memberikan jaminan kepada seluruh deposan dan kreditur bahwa dananya akan sepenuhnya dikembalikan oleh pemerintah melalui bank yang bersangkutan. Dalam kasus seperti ini, blanket guarantee hanya bisa kredibel jika diseponsori oleh pemerintah dan bukannya dalam bentuk deposit insurance (DI) yang dilakukan oleh swasta.
Akan tetapi blanket guarantee memiliki dua masalah pokok sebagai berikut. Pertama, ia tidak bisa sepenuhnya kredibel dalam konteks ekonomi terbuka tanpa adanya capital control. Kedua, pada kenyataannya pemerintah tidak bisa secara fleksibel menetapkan kenaikan pajak, karena harus melalui proses perundang-undangan yang memakan waktu lama. Oleh karena itu, pemerintah sering hanya bisa meningkatkan future tax yang justru dapat mengakibatkan tidak kondusifnya iklim investasi dimasa yang akan datang.

Social cost
Penyediaan fasilitas LLR sangat berkaitan dengan proses penciptaan uang, karena bantuan likuiditas terhadap bank merupakan bagian dari base money. Pada intinya base money dapat didekomposisi menjadi dua komponen yaitu NFA dan NDA. BLBI merupakan salah satu komponen dalam NDA, sehingga peningkatan jumlah BLBI akan secara otomatis meningkatkan jumlah uang yang beredar (base money) jika tidak disertai dengan upaya counter balance melalui penurunan NFA ataupun komponen NDA lainnya. Kalau hal ini terjadi maka dengan adanya BLBI, pencapaian target moneter menjadi lebih sulit untuk dipenuhi. Sebagaimana diungkapkan dalam bagian terdahulu ternyata pembengkakan penyaluran BLBI disertai dengan peningkatan jumlah uang yang beredar. Jadi, pada intinya social cost dari BLBI bisa dirunut melalui peningkatan jumlah uang yang beredar dan dampaknya terhadap ekonomi makro.

Dalam konteks ekonomi terbuka dan regim nilai tukar mengambang, Dornbusch (1976) mengusulkan suatu model overshooting yang pada intinya menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek akan mengalami overshooting terhadap keseimbangan jangka panjangnya. Artinya jika terjadi suatu shock moneter maka fluktuasi nilai tukar menjadi sangat sulit untuk diprediksi.

Peningkatan jumlah BLBI yang disertai dengan peningkatan base money akan menyebabkan nilai tukar selain terdepresiasi secara tajam, fluktuasi jangka pendeknya menjadi sangat volatile. Oleh karena itu peningkatan BLBI dapat menyebabkan ketidakpastian nilai tukar atau peningkatan dalam exchange rate risk.

Dalam monetary approach to balance of payments, jumlah uang yang beredar dan nilai tukar pada gilirannya menyebabkan peningkatan inflasi. Walaupun pass through effect dari depresiasi nilai tukar tidak berdampak penuh terhadap inflasi dalam jangka pendek, inflasi bisa menjadi jauh di atas normal jika terjadi depresiasi dalam skala besar. Dengan demikian, peningkatan BLBI akan berasosiasi dengan: (i) peningkatan base money, (ii) depresiasi nilai tukar secara berlebihan, (iii) volatilitas nilai tukar, dan (iv) inflasi secara berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Visitors

Blogroll

Blogger Widgets

About